Setiap tanggal 28 Oktober seluruh rakyat Indonesia kembali memperingati momen bersejarah negara ini yakni Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda merupakan hasil gagasan pemikiran dari Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928.
Dalam ikrar nya, para pemuda Indonesia bersumpah bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa yang satu yakni Indonesia.
Bunyi Sumpah Pemuda yang masih lekat dalam ingatan kita hingga kini adalah:
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Di balik sejarah Sumpah Pemuda, tersimpan berbagai fakta yang masih belum diketahui banyak orang. Pada artikel kali ini, kita akan membahas 12 fakta Sumpah Pemuda:
1. Awalnya Bukan Bernama Sumpah Pemuda
Meski dikenal dengan nama Sumpah Pemuda, tapi ternyata pada mulanya, rumusan yang ditulis Mohammad Yamin ini bukan bernama Sumpah Pemuda. Bahkan, meski sudah selesai dibacakan, naskah Sumpah Pemuda belum memiliki judul yang resmi.
Istilah Sumpah Pemuda baru muncul setelah kongres berlangsung beberapa hari. Namun, peringatan Sumpah Pemuda tetap diperingati sesuai dengan tanggal pembacaan ikrarnya, yakni 28 Oktober.
2. Naskah Sumpah Pemuda Ditulis oleh satu Orang
Dalam diskusi perumusan Sumpah Pemuda bersama para utusan dari berbagai daerah, Mohammad Yamin bertugas untuk meramu rumusan dari hasil diskusi. Tak butuh waktu lama bagi Yamin merumuskan Sumpah Pemuda. Hasilnya pun kemudian diserahkan kepada kepala Kongres, Soegondo Djojopoespito.
Rumusan yang menjadi Sumpah Pemuda selanjutnya dibacakan oleh Soegondo dan dipaparkan oleh Yamin yang kemudian disahkan sebagai Sumpah Pemuda.
Baca Juga: 7 Keutamaan Sedekah Subuh yang Jarang Diketahui
3. Hanya Ada 6 Perempuan yang Ikut Kongres Sumpah Pemuda
Tak hanya lelaki yang turut serta dalam Kongres Sumpah Pemuda. Kaum perempuan pun turut serta mengambil peran pentingnya meski memang masih kalah dalam jumlah.
Berdasarkan buku resmi Panduan Museum Sumpah Pemuda, dari total 700 pemuda yang ada dalam Kongres pemuda, hanya 82 orang yang tercatat secara resmi dan enam orang di antaranya adalah wanita.
Enam peserta perempuan ini antara lain Dien Pantow, Emma Poeradiredja, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernama Woelan, dan Siti Soendari.
Dari keenam peserta perempuan tersebut, hanya tiga peserta yang turut menyampaikan pidatonya dalam Kongres Sumpah Pemuda, yakni Mardanas Safwan, Emma Poeradiredja dan Siti Soendari.
Baca Juga: 5 Tips Aman Berdonasi Online Agar Tepat Sasaran
4. Sumpah Pemuda Sudah dipersiapkan 2 Tahun Sebelumya
Isi Sumpah Pemuda sebenarnya sudah mulai dirumuskan pada saat resolusi Kongres Pemuda I pada tanggal 2 Mei 1926 yang berbunyi:
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Melayu.
Namun, dari tiga klausul Sumpah Pemuda ini, hanya poin yang menyebutkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang menjadi kontroversi.
5. Ada Peran Etnis Tionghoa
Sumpah pemuda tidak hanya dilakukan oleh masyarakat pribumi. Momentum terciptanya Sumpah Pemuda juga diwarnai oleh peran dari etnis Tionghoa yang turut dirangkul untuk berpartisipasi.
6. Tidak boleh ada kata Merdeka
Kongres Pemuda II sangat dijaga ketat Kepolisian Belanda. Para peserta tak diizinkan menyuarakan kata merdeka karena pada saat itu, diksi ini termasuk kata ‘terlarang’. Untungnya, dengan kecerdikan para pemuda, mereka masih bisa mengkondisikan diri.
Cerdiknya mereka juga mampu merumuskan Sumpah Pemuda yang menjadi pergerakan kemerdekaan meski tanpa penggunaan kata merdeka. Larangan kata merdeka pada saat itu juga turut menjadi alasan lagu Indonesia Raya yang dibawakan pada Kongres Sumpah Pemuida ini hanya diiringi biola tanpa menyertakan syair.
7. Pertama Kali Lagu Indonesia Raya Tanpa Syair
Meski lagu Indonesia Raya juga turut mensakralkan Sumpah Pemuda, tapi hanya alunan musiknya saja. Sebab, Kongres Pemuda dijaga ketat oleh kepolisian Belanda sehingga menimbulkan kekhawatiran jika kata Indonesia dan Merdeka dalam syair lagu maka kongres bisa jadi dibubarkan.
Alhasil WR Supratman hanya membawakan lagu Indonesia Raya ciptaannya dengan irama biola saja. Kesempatan ini turut menandai kali pertama lagu Indonesia Raya dibawakan oleh penciptanya.
8. Bahasa Belanda Mendominasi
Meski ini merupakan acara sakral milik pemuda Indonesia, tapi bahasa Belanda masih mendominasi pembicaraan. Sebagian pembicara dalam Kongres Pemuda II menggunakan bahasa Belanda.
Tak hanya itu, notulen rapat dalam kongres pun ditulis menggunakan bahasa Belanda.
9. Pembukaan acara di Gereja
Pembukaan Kongres Pemuda II yang berjalan dalam tiga putaran berlangsung di Katholieke Jongenlingen-Bond, Kompleks Katedral Jakarta, Sabtu, 27 Oktober 1928, mulai pukul 21.30 WIB. Gereja menjadi lokasi yang dipilih karena memiliki aula dengan banyak bangku untuk menampung ratusan peserta.
10. Bikin Peci dari Topi Eropa
Sejak diperkenalkannya peci sebagai identitas pergerakan nasional oleh Bung Karno, peci pun banyak dipakai oleh peserta Kongres. Namun, karena saat itu peci masih langka di Hindia-Belanda, maka sebagian peserta kongres menggunting pinggiran topi Eropanya sehingga menyerupai peci
11. Rumah Tempat Kongres Jadi Museum Sumpah Pemuda
Berkat Kongres Pemuda pada 1972, rumah di jalan Kramat Raya nomor 106, Jakarta Pusat ditetapkan sebagai cagar budaya. Gedung ini merupakan pemondokan untuk pelajar dan mahasiswa waktu itu yang kini dijadikan sebagai Museum Sumpah Pemuda.
Hingga saat ini, museum tersebut bisa dikunjungi untuk mempelajari berbagai hal terkait sejarah kemerdekaan Indonesia serta sejarah Sumpah Pemuda khususnya.
12. Terdapat Berbagai Keberagaman
Saat Kongres Pemuda II banyak yang datang dari latar belakang etnis dan kepercayaan berbeda. Namun, para pemuda berusaha untuk memproklamirkan menjadi suatu bangsa yang utuh dengan tidak membedakan satu dengan yang lain. Misalnya ada Jong Minahasa, Batak Bond, Jong Ambon, dan Kaum Betawi. Hal tersebut merupakan dasar saling menghargai berbagai keragaman di negara kita hingga saat ini.